Jumat, 22 Oktober 2010

Menyetubuhi Malu


Hujannya berawal ketika ku dapati hari demi hari di bawah tumpukan jerami. Ia membuat terjaga tanpa sedikitpun tenaga yang masuk dan membuat bebunyian di dalam perutku. Kini jalan-jalan menjadi sangat basah dan bumi adalah bagian yang menjadi malu ketika menjadi basah. Namun aku adalah kesunyian yang terjaga dari tetesan air yang bisa membuatku mengigil dan menjadi jatuh sakit.
Ada banyak suara-suara di luar sana ketika hujan telah redah. Kesunyian tengah malah menjadi sangat  senyap. Kini penghuni bumi menjadi sangat pemalu untuk keluar malam. Dan kedai si tua renta di ujung malam menjadi sangat sunyi tanpa secawan kopi hitam dan arang-arang yang membara di balik tungku.

Jerami-jerami ini membuat aku menjadi terjaga dan rasa lapar ini beranjak lupa. Jelaga-jelaga itu menghuni langit sembab karena hujan tadi sore. Si tua itu mulai menarik gerai-gerai gubuk kecilnya, menarik langit-langit peraduanya lebih awal dari hari biasanya.

Malam ini, terulang lagi hawa dingin melebihi air yang mengenang di atara jejak-jejak kaki penghuni lalu-lalang semasa hujan tadi. Kini aku terjebak lagi, dan jangkrik-jangkrik itu tak nampak entah kenapa. Ruang ini adalah surga. Ruang ini adalah neraka. Ruang ini bernyawa.
Kini aku tak lagi melihat padang hijau yang melambai karena tiupan Levante dan domba-domba berbulu kriting putih, dan gembala di bawah dahan memuja kesejukan mimpinya. Dan padang bunga dan rumput Sekat diantara dedaunan mungil berwarna hijau. Dan si anak pastor di ujung jalan yang menjaga gereja itu sudah pergi meninggalkan rumahnya  demi mimpinya berjalan di padang pasir bertuhan Elang.

Kini aku menjadi sangat terisolir, terkurung dalam ketakutan, tertawa dalam kesendirian. Mereka sudah tak menggangapku ada seperti dulu ketika aku masih berlari-lari diantara kerumunan mereka yang berhilir mudik menuju satu tempat tujuan dan tempat-tempat lainnya. Waktu membawaku jauh dari hari-hari bersama mereka.

Kini ku menjadi malu, menjadi sangat sendu dan menyesakkan nafas. Kolong lagit seperti mengutukku, memberiku bintang kesialan yang bernaung erat di atas kepalaku hingga hariku sudah tertutup untuk daratan ini.  Aku binggung kenapa aku menjadi sangat pemalu. Dan kenapa menjadi sangat pemalu. Kini hari-hariku menjadi sangat memalukan, termalukan. Kini aku meyetubuhi malu hari demi hari di ruang kecil seperti kubah dan kayu besar mengikat kakiku, dan dua buah Kunci yang mengikat rantai-rantai ini. Langkahku mulai terbatas. Aku hidup di satu titik di tempat yang sama dari hari ke hari. Menyedihkan memang. Namun aku masih bisa tertawa tanpa tatapan sinis dan keraguan dari siapapun yang melihatku.  Terpasung sendiri dan meyutubuhi malu di siang dan malamku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar