Rabu, 16 Maret 2011

penghayal merakit waktu

ketika aku mendapatio keletihan dari dahaga yang keluar ketka ku habiskan bertetes-tetes keringat di sekujur tubuh, membaui selangkanganku dengan ganyir, keiaku dengan aroma tak sedap, daki menyisik.

ini serasa menghidupkan kembali semua otot yang saya punya, semua urat saraf yang saya miliki. ku rendam telapakkakiku di genangan air yang berangsur keruh karena telapak kakiku menginjak dasarnya.

di ujung jalan aku menikmati ruang berpanorama kesedihan, menatih menyeret tubuh yang hatinya di remas oleh keringnya rasa cemburu. aku seperti tersesat , di hapus ingatanya, aku mencari sekumpulan camar yang berarak hilir menuju sarang namun tak kudapati. aku seperti menangisi ujung film yang di angkat dari kisah nyata, ketika sepasang lawan jenis mengikat janji bertemu di sebuah kota ketika si pria terbang menaruh nyawanya di udara, sang gadis menghitung jumlah camar baja yang pulang dari medan perang hingga berkesudahan, hingga mereka tak saling bertemu.

in konyol namun aku meremas hati, seperti mendapati tangngis ketika seorang sahabat ku mati bunuh diri di dalam mimpi. ini kesdihan namun aku mampu menikmati tangisanku, tanpa rasa sedih yang meracau di dalam tubuh ini.

aku tergolek lemas, membiarkan tetesan air mata, tak merasakan lagi di man letah hati, tak merasakan di manana letak arwahku ?. sudah ku mohonkan permintaan mafaku kepada dewi hujan, ketika aku bersedih di ujung jalan ketika aku melihat seoran anak tak mampu menikmati hujan arena ia menghabiskan barang daganganya.

ku tatap buana yang gelap kudapati ribuan kelip, menyamarkan pandangan mata yang berair, di genangi air tangis, ini menyedihkan.

aku cemuru, di bakar cemburu.... sebesar itu kah aku mencintainya ? hey.. durjana. kau masih diam menungu jawaban yang tak kau cari. punggung tak lagi di rundung rindu kepada bulan. ia menuduh teluk dan memaki di ujung kebohongan yang baru saja datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar